Narasi Kasekten pada Perempuan

 

Dalam diskursus Islam Jawa secara umum, para penstudi cenderung melihat pada horizon luas tentang ajaran dan praktik sufistik sebagai variabel penting dalam Islamisasi Jawa. Saya merasa wilayah mikro yang membincang soal spiritualitas keseharian, utamanya spiritualitas perempuan adalah wilayah kajian yang layak untuk diperhatikan.

 

Dalam praktik spiritualitas tentu tidak akan lepas dari kekuatan magis, yang dipercaya untuk mendapat kesaktian. Kekuatan tersebut diperoleh dari amalan atau pengijazahan. Kemudian terdapat berbagai teori tentang mistisisme, kebatinan hingga kesekten, yang mana perempuan juga terlibat aktif di dalam kosmologi ataupun fakta sosial di Jawa. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, mengapa posisi perempuan dalam narasi spiritualitas keseharian dianggap sebagai sekunder, perempuan dianggap inferior dan laki-laki selalu superior?

 

Tulisan ini secara spesifik mengulas tentang praktik spiritualitas atau kasekten pada santri perempuan di berbagai pesantren maupun perempuan yang mempunyai amalan. Amalan atau pengijazahan umumnya dikenal sebagai jalan yang dapat mengantarkan seseorang untuk memperoleh pencerahan atau kesaktian (kasekten dalam bahasa jawa).

 

Kebudayaan Jawa, jika disamakan dengan kebudayaan-kebudayaan lainnya, memiliki jejak-jejak cukup tragis dalam memposisikan perempuan. Seperti yang kita lihat pada mayoritas kebudayaan, perempuan diposisikan sebagai kelas kedua di bawah laki-laki. Pada struktur kebudayaan, perempuan jarang mendapat posisi di lapisan suprastuktur. Sejarah kebudayaan mayoritas ditempati oleh laki-laki.

 

Dalam istilah feminisme, hal itu disebabkan oleh adanya budaya patriarki, dimana sistem tersebut meminggirkan perempuan. Seperti yang dikatakan Nawal El Saadawi, bahwa patriarki merupakan dampak integral dari berbagai sistem, politik, ekonomi hingga budaya. Sistem tersebut bekerja dalam setiap lapisan, baik dalam masyarakat marginal maupun modern, termasuk masyarakat Jawa.

 

Namun, terdapat catatan penting, sesunggunya penempatan perempuan dalam kebudayaan Jawa pada mulanya begitu egaliter. Hal Ini tidak sama dengan kebudayaan besar lainnya.

 

Pixit

Kajian mutakhir Bianca J. Smith dan Mark R. Woodward yang berjudul “Magico-spiritual power, female sexuality and ritual sex in Muslim Java: Unveiling the kesekten of magical women”, mengungkapkan bahwa narasi mengenai perempuan memang banyak dilupakan bahkan dihilangkan dari wilayah spiritualitasnya, padahal ini merupakan wilayah yang tak kalah penting dalam masyarakat Jawa.

 

Hal seperti ini dapat dijumpai pada praktik magis dalam pencarian kesekten. Di wilayah ini juga terdapat potret perempuan-perempuan sebagai sumber kekuatan spiritual orang Jawa. Meskipun begitu, keberadaan mereka jarang diungkap bahkan ditemui.

 

Di Jawa, kasekten biasanya digunakan untuk mendapatkan berbagai macam keinginan seperti kekuasaan, memperoleh cinta seseorang, pesugihan dan kepopuleran. Untuk memperoleh kasekten sendiri caranya beragam, salah satunya seksualitas, terutama seksualitas perempuan yang biasanya dikaitkan dengan Ratu Pantai Selatan.

 

Banyak cerita yang mengatakan bahwa jika berhubungan badan dengan Ratu Roro Kidul, dipercaya akan memperoleh kasekten yang paling dicari oleh masyarakat Jawa. Namun, mitos semacam ini biasanya sering dikaitkan langsung dengan para pemimpin di Jawa.

 

Berbeda dengan ranah pesantren, kasekten sama halnya dengan amalan atau pengijazahan, yakni melakukan praktik untuk memperoleh sesuatu, tetapi tidak semua amalan digunakan untuk mencari-cari. Biasanya pengijazahan diberikan secara cuma-cuma oleh guru ngaji atau ustadz di pesantren untuk santri.

 

Dalam penelitian ini spesifik membahas tentang praktik kasekten pada santri perempuan. Ijazah atau amalan, biasanya berupa tulisan arab yang memiliki kekuatan kasekten tersendiri untuk memperoleh keinginan atau tujuan.

 

Di balik pemberian ijazah juga terdapat praktik magis atau spiritualitas yang menjadi syarat untuk memperoleh keinginan. Jenis tujuan ijazah biasanya beragam, seperti ijazah mendapat jodoh yang digandrungi para santri, memperlancar dalam belajar, mendapat rezeki berlimpah, keselamatan, ataupun menghilangkan gangguan-gangguan dari makhluk halus dan lain sebagainya.

 

Seperti yang dikatakan Bianca J. Smith dan Mark R. Woodward bahwa di dalam budaya Indonesia dan khususnya Jawa, sihir dan pencarian pencapaian kekuatan spiritual adalah praktik umum di kalangan muslim laki-laki dan perempuan dengan berbagai orientasi teologis. Hal itu adalah kenyataan yang signifikan dalam kehidupan sehari-hari, bahwa orang mencari-mencari cinta, kekayaan, ketenaran dan persatuan mistik dengan Yang Ilahi.

 

Bincang Syariah

Tetapi yang perlu digarisbawahi, pada beberapa pondok pesantren, amalan yang dilakukan basisnya adalah ortodoksi islam, sehingga tidak bisa disebut sebagai kasekten. Ini karena sifat dari kasekten bernuansa akulturatif atau sintesis, antara jawa dan islam. Misal di pondok pesantren pesulukan tharekat agung, di dalamnya tidak ada kaitan dengan unsur jawa.

 

Adapun kasekten sebagai pijakan, bagaimanapun terkandung spiritualitas di dalamnya. Di Jawa, spiritualitas perempuan benar-benar diakui dan dengan demikian kita bisa menyebut bahwa terdapat suatu sikap egaliter dalam pencarian spiritual pada masyarakat Jawa.

 

Lantas mengapa superioritas perempuan di dalam kasekten tidak sama dengan laki-laki, baik dalam linkungan masyarakat maupun ranah pesantren? Padahal sama-sama menggunakan amalan. Seperti dalam masyarakat Jawa, yang dikenal hanya dukun dan kyai laki-laki saja yang ampuh. Bahkan tidak banyak yang membicarakan dukun dan Bu Nyai perempuan di dalam masyarakat Jawa.

 

Dari sini kita melihat ada ketimpangan antara laki-laki dan perempuan seperti ketidakadilan gender, yang kemudian menyebabkan inferioritas pada perempuan. Spiritualitas perempuan nampak tidak diposisikan setara, akibatnya laki-laki lebih populer di ranah sepiritual dibanding perempuan.

 

Dalam Islam, khususnya ajaran Tarekat, sistem patriarkal lebih mendominasi. Sebagai contoh, dalam tarekat-tarekat Islam hanya laki-lakilah yang bisa menjadi mursyid. Tentu saja, hal ini mengakibatkan perempuan selalu dan hanya berada di posisi sekunder, sebagai santri. Faktor kedua adalah sistem masyarakat yang patriarkal. Dalam sistem masyarakat seperti ini, ada batasan yang jelas antara laki-laki dan perempuan, misalnya pembatasan waktu bagi perempuan untuk mengakses ruang publik.

 

Dalam fenomena sosial keagamaan seperti tarekat, akses laki-laki dan perempuan benar-benar sangat berbeda. Laki-laki bisa kapanpun menghadiri pesulukan, tidak demikian bagi perempuan. Padahal idealnya, laki-laki atau perempuan harus mendapat ruang berekspresi yang sama.

 

Mengacu pada pemikiran Amina Wadud dalam tulisannya yang berjudul Towards A Qur'anic Hermeneutics Of Social Justice: Race, Class And Gender, soal keadilan gender menurutnya sedari awal, Tuhan telah secara jelas mengatakan bahwa laki dan perempuan memiliki posisi yang setara. Pakar feminis ini menunjukkan bahwa istilah nafs dalam al-Quran, merujuk baik laki-laki dan perempuan. Selain itu, perihal ketakwaan, Amina bersikukuh bahwa laki-laki atau perempuan bukanlah faktor pembeda. Keduanya berkesempatan memiliki derajat ketakwaan bergantung pada spiritualitasnya.

 

Sejumlah studi pendahulu di atas, akhirnya menjadi pijakan penting bagi saya untuk mengkaji praktik dan posisi sufistik-spiritual perempuan di lingkup tarekat yang maasih belum dikaji oleh para ahli antropologi. Dimensi normativitas keagamaan dan sosiologis juga membantu saya untuk  menganalisis posisi perempuan dalam upayanya menjalani laku spiritual, terlebih juga implikasi posisi yang didapat perempuan di ruang spiritual serta ruang publik. []



PENULIS

Ravika Alvin


Post a Comment

0 Comments