Perempuan yang Jatuh Cinta pada Puisi


Setelah kesakitan-kesakitan kian membuat hati ngilu, terkadang Sena berpikir untuk tidak jatuh cinta kembali, setiap kali cinta mulai berbunga. Musim kemarau seakan datang menjatuhkan kelopak-kelopak bahagia yang mekar. Sudah hampir 2 tahun ini Sena memeluk kepedihan dengan berdarah-darah. Sering kali kehilangan harus membuat hatinya tegar, pun itu adalah pelajaran baginya agar terbiasa dengan kesedihan yang memukul, lalu jiwanya akan menjadi kuat meski dihantam deru ombak pilu bertalu.

Ting, sebuah notifikasi masuk lewat handphone Sena yang tengah berbalut selimut. Setengah sadar ia berusaha meraih smartphone miliknya di samping ranjang tidur. Ia menepis sedikit selimut, lalu melihat sebuah pesan dari email, matanya seketika terbelalak. Spontan Sena kegirangan sambil menendang-nendang selimut dan melompat di atas kasur, pesan yang masuk membuat hatinya berbunga, meski dua minggu yang lalu ia sempat menangis tersedu-sedu dan enggan untuk membuka diri pada siapa pun. Di media sosial bahkan dunia nyata. 

Dua minggu yang lalu kabar pahit datang padanya. Aizan, seseorang yang datang dengan seribu janji, akhirnya menabur benih luka di dalam hatinya, ia telah menikahi seorang wanita pilihannya sendiri. Sedangkan dirinya dibuang begitu saja setelah segala manis direguk bersama. Dua minggu Sena  memutuskan mengurung diri, nalarnya mulai berlari. Ia menulis banyak puisi hingga berlembar-lembar kertas, meski harus gagal berulang kali, dengan air mata berderai-derai. Pada akhirnya, setelah puisi itu rampung. Ia mencoba memgirimkan beberapa puisi ke salah satu media cetak dengan hati yang belum pulih.

"Barangkali ada kebahagiaan bila puisiku dimuat di suatu media, biar orang lain membaca bahwa inilah hatiku yang hancur, bisa menjadi sebuah kebanggaan untuk berkarya, oh iya. Barangkali kau juga membaca? Ahahaha." Ujarnya pula sambil tersenyum kecut, menyimpan kepedihan yang dalam.

Sena begitu bahagia mengetahui karyanya diterima di sebuah media cetak, melalui sebuah notifikasi email yang masuk.

“Tak sia-sia aku melampiaskan kesedihan ini, terima kasih Tuhan.”  Ia bergegas bersiap mandi, sarapan dan berpakaian. 

“Sudah dua minggu aku tidak pulang ke rumah, bahkan dua minggu ini pula, tak pernah lagi kulihat matahari bersinar seperti biasanya.” Ia bergumam sambil membuka tirai jendela sedikit. Cahaya matahari menyala terang, Sena tersenyum, kemudian bergegas turun menaiki sebuah mobil dan melaju meninggalkan apartemennya yang sunyi.

“Sudah dua minggu ya, Nak. Tumben sekali tidak pulang. Mumpung hari libur kerjamu, seharusnya tidur di rumah ibu. Kenapa harus menghabiskan waktumu sendirian? Nanti kalau sudah kerja jangankan datang, ditelepon saja susah.”  Ucap ibunya sambil menata makanan di atas meja. Sementara Sena hanya tersenyum seadanya. Barangkali ada alasan yang ingin dia katakan, tetapi enggan.

“Hehe iya, Bu. Lagi malas bepergian saja, sebab udaranya akhir-akhir ini panas.” 

Begitulah alasan demi alasan yang meluncur dari mulutnya, sedangkan ia harus menata hati hari demi hari. Meski demikian, ia sendiri tak boleh rapuh. Orang tua dan menulis, serta dengan banyak bekerja adalah ramuan bagi Sena untuk mengobati luka hatinya.

Setelah masuk kerja, ia makin giat bekerja sambil menulis. Sena selalu bahagia setiap kali puisinya termuat dan notifikasi pemasukan honor membuat Sena semakin berbunga. Hingga hari demi hari ia menjadi wanita yang gila bekerja dan menghabiskan waktunya pergi ke perpustakaan, lalu menghabiskan hari-harinya untuk menulis.

Puisi-puisi adalah wadah paling nyaman yang berhasil membuat ia bangkit dari kesedihan. Mungkin bagi orang lain, apalah arti sebuah puisi yang hanya fiksi semata. Namun bagi Sena, sebuah karya adalah cinta yang dilahirkan secara nyata, seburuk apa pun puisinya. Ia tak pernah terluka sebab kata-katanya. Karena menumpahkan kegelisahan jiwa, tak semua orang mampu berbicara secara terbuka, baik pada orang tua, sahabat maupun saudara, apalagi orang lain. 

Bagi Sena, cara paling tepat untuknya yang terlalu enggan bercerita, hanya menulis. Itu solusinya. Meski pada suatu hari, ia tak dapat lagi membendung kesedihan. Dengan hati terluka Sena bercerita pada ibu, apa yang ia alami dengan Aizan, lelaki pendusta yang hanya memberikan harapan kosong. Namun, sang ibu tetap memberikan nasehat baik, jangan sampai demi seorang lelaki ia menjadi mati rasa untuk lelaki lain.

"Sebab, ibu tak selamanya ada untukmu, Nak. Umur manusia akan habis. Maka menikahlah jika suatu saat ada yang ingin berniat baik padamu.” Ujar ibu Sena suatu hari, ketika Sena menyatakan untuk tetap sendiri sampai kapan pun. Toh juga hasil kerjanya sebagai kurator galeri seni sangat mencukupi bagi dirinya.

Percuma menikah jika akhirnya harus patah hati lagi. 

Begitu anggapannya setelah ditinggal Aizan, sebab kepedihan itu sangat membekas. Setiap kali mengingat kenangan-kenangan manis, kesedihan itu terasa ngilu di dalam hati, setiap kali ada beberapa pria yang ingin mendekati, ia terbayang perlakuan Aizan yang tiba-tiba menghilang, lalu tiba-tiba membawa kabar pernikahannya dengan wanita lain. Seketika itu ia seperti mati, merasa jadi wanita malang yang tak pernah diberi keberkahan cinta.

Sesekali, Sena memergoki teman-temannya bertemu diam-diam pada saat jam kerja, namun ia tutup mulut saja, bahkan ada yang sedang berpacaran satu lokasi di tempat kerja secara diam-diam. Ada juga yang terang-terangan, akhirnya berujung pada kabar perpisahan. Sang perempuan memilih mengundurkan diri sebab patah hati. Pemandangan itu membuat ia semakin mencintai dunianya sendiri, hingga beberapa teman sampai hati memperkenalkan pria padanya. Tetapi Sena menolak begitu saja. 

Hingga dua tahun waktu berjalan, sejak Aizan memberi luka padanya. Sena benar-benar menjadi wanita yang gila puisi, hampir setiap minggu ada saja karyanya yang terpampang di berbagai media. Sehingga tak jarang ia diundang ke dalam acara talk show, pengisi acara literasi secara online ataupun dunia nyata.  Puisinya tersebar ke mana-mana, bahkan dalam acara perkawinan, ia selalu membacakan karyanya ketika dipinta.  Begitulah kecintaannya pada puisi, meski kata banyak orang ia seperti tak pernah jatuh cinta, namun sebenarnya ia telah lama jatuh cinta. Yaitu pada sebuah puisi yang berhasil membuat ia bangkit, meski dalam hitungan tahun kesedihan itu masih ngilu. Sena menjadi paling bijak ketika memberikan seminar kepenulisan di berbagai acara, seakan-akan ia adalah orang yang paling bahagia dalam merengkuh cinta. 

Namun pada kenyataannya ia pun menyimpan keinginan seperti banyak orang.  Diberi kejutan kecil, ucapan selamat tidur dan selamat pagi, serta ada seseorang yang tak pernah bosan mendengarkan keluh kesahnya. Bukankah begitu kebanyakan orang yang sedang menjalin cinta? Pikirnya. Namun berbeda hal dengan dirinya, ia mendapat itu semua dari orang tua. Itu pun terkadang bukan ucapan manis, melainkan omelan ibunya yang kesal sebab bila menelepon tak diangkat-angkat, ataupun satu hari ia absen menelepon ke rumah.

Hari ini, Sena mendapat tawaran sebagai pembawa acara di sebuah gedung. Ia diundang secara pribadi oleh rekan kerja bawahan dari Aizan, tetapi sayangnya Sena tak mengetahui itu. Kebetulan sekal istri Aizan, Mela adalah teman dekat si pemilik galeri seni tempat Sena bekerja, ia sengaja meminta pembawa acara yang kompeten ke pada bu Ratna, pemilik galeri seni.

“Kudengar, kurator di galeri senimu itu sangat pandai dalam berbicara, karyanya juga sudah banyak masuk di berbagai media, kalau Bu Ratna tak keberatan, aku ingin ia yang jadi pemandu acara pesta ulang tahun anak kami." Ujarnya suatu hari.

Tentu saja wanita itu senang, sebab selain keuntungan bagi Sena, ia juga bisa mempromosikan galeri seni miliknya serta bayaran yang cukup buat dirinya selain Sena. Bukan itu saja, jika Ratna mengizinkan Sena untuk memandu acara ulang tahun itu, di pameran yang ke-4, Mela akan menyumbang banyak dana pada Ratna dan galerinya. Tentu saja hal itu ia terima dengan baik. Tanpa mengetahui akal busuk di balik permainan Mela.

Setelah berbincang dengan Sena, akhirnya Sena setuju. Keesokan harinya ia datang bersama Bu Ratna ke acara pesta ulang tahun, mereka disambut ramah. Orang-orang terlihat ramai, pesta itu begitu megah.  Setelah melihat situasi yang pas, Sena naik panggung untuk memulai acara. Setelah acara demi acara berlalu, Sena membacakan satu puisi sebagai hadiah untuk ulang tahun sang anak, orang-orang mulai tersihir dengan sebuah puisi yang ia bawakan.


Hidup dan Perjalanan


Tuhan telah meniupkan ruh ke rahim ibu

Sembilan bulan kau di dalam surganya

Bersama darah yang amis dan ari-ari


Ketika terlahir ke dunia

Semua takdir berhambur ke semesta

Kau telah menyanggupi untuk memungutinya

Dalam getar getir hidup bergulir

Sepanjang napas belum berakhir


Hidup adalah perjalanan

Setiap satu tahun

Ada sebuah tanggal yang menyala

Di situlah angka usia jatuh 

Berkuranglah umur manusia


Berkah usia

Untukmu anak manusia 

Yang mengingat setiap derit angkanya jatuh

Lalu bersimpuh setiap 5 waktu

Memandikan diri dari dosa


Riau, 2021


Demikian puisi yang ia bacakan selintas untuk sang anak yang sedang berulang tahun. Meski tak dimengerti si anak, tetapi puisi itu bisa dirasai untuk seluruh hadirin yang ada.  Setelah pembacaan puisi, Sena melanjutkan acara pemotongan kue. Dalam acara tersebut, ayah dan ibu sang anak harus maju ke depan. Maka beranjaklah Aizan dan anak beserta istrinya, Mela untuk menaiki panggung.  Sena sempat terpaku memandang wajah pria itu, yang saling bertatapan dengannya. 

Hatinya ngilu, tentu. Ada kenangan lama berkelebat kembali, bagaimana Aizan meninggalkannya begitu saja, setelah berjanji akan menikahinya.

“Mbak Sena?” Panggil seorang perempuan tak lain adalah Mela.

"Eeh ii-iya, Mbak?" Ujarnya gagap sebab tak mendengar panggilan Mela berulang.

“Bisa dipandu lagi untuk pemotongan kuenya?" Ujar wanita itu dengan tersenyum sinis. Senyum itu adalah senyum penuh kelicikan. Namun dengan sekuat hati Sena harus memandu acara hingga selesai. Sedangkan Aizan tak berbicara sepatah kata pun, meski hanya ingin bertanya kabar.  

Semenjak kejadian itu, Sena jadi sedikit kecewa pada keputusannya sendiri yang tergesa menerima tawaran tanpa tahu seluk beluknya, juga pada Bu Ratna. Namun ia tak bisa marah, sebab itu jadi masalahnya sendiri. Baru beberapa tahun setelahnya, Bu Ratna memahami apa yang terjadi pada Sena.

Tapi tak ada yang berubah. Sena tetap memilih untuk bergelut dalam puisi, hingga ia jadi makin gila, jatuh cinta pada puisi. Suatu hari cinta itu membawanya pada orang-orang baru. Seperti saat ia diundang ke seminar nasional di Kuala Lumpur. Sedikit demi sedikit, hatinya yang membatu perlahan cair juga. Semacam takdir fi ujung cerita, Sena pun dipertemukan dengan seseorang yang berhasil memberi kebahagiaan, setelah remuk bertahun-tahun. []


Riau, 2021.

Rizka Widiana. Asal Riau. 
Aktif menulis sejak 2020. Tergabung dalam kelas menulis Kepul. Bisa disapa via fb: Rizka Widiana dan Ig: @rizkawidiana97


Post a Comment

0 Comments