Mengenang Kematian Bulan

Kabar kematian terlalu banyak memekikkan tangis bulan ini. Ada raungan dari tubuh-tubuh yang merasa ditinggalkan. Ucapan-ucapan belasungkawa melengkapi penghiburan buat si empunya rumah, lengkap dengan basa-basi berupa pertanyaan-pertanyaan, itu-itu saja.


Meski kemudian ada yang patut disyukuri dari sebuah peringatan kematian, yakni persatuan seluruh anggota keluarga. Kau bisa bertemu kakak kandungmu, yang bahkan tidak bisa kau temui bahkan ketika perayaan hari-hari besar, seperti hari raya tiba. 


Setidaknya kau juga akan melihat wajah-wajah sanak saudara yang lain, dari sosok yang telah mangkat lebih dulu. Akan lebih lengkap, bahkan dengan wajah-wajah yang sama sekali asing. 


Hal lain lagi, kalau kau ingin tahu bagaimana sosok itu dikenal masyarakat, kau bisa datang dan mendengar obrolan-obrolan para pelayat yang datang silih berganti. Akan banyak aspek yang mereka bahas. Pertemuan demi pertemuan, apa-apa yang ditinggalkan, apa-apa yang lekat diingatan masing-masing.


Seberapa banyak mereka mengerumuni rumah duka?
Mungkin itu juga akan memberimu satu tanda, tentang apa yang dimaksud sae-awon itu.

Cahya Legawa


Kematian Bulan

Satu hal yang baru saja kuketahui, bahwa dari sekian kabar kematian yang kudengar, ada satu yang luput. Kabar tentang seorang Bulan yang jauh di pengasingan. 


Tempat rehabilitasi itu kusebut pengasingan, sebab terlampau jauh dari jangkauanku, atau bahkan keluarganya sendiri. Bulan dipaksa pisah dari putri semata wayang hanya karena dianggap semakin jauh dari norma masyarakat.


Bulan yang malang. Perempuan seumuranku yang harus menanggung luka dan kalut seumur hidupnya, hanya karena dianggap tidak waras. 


Ceritanya panjang.


Tapi kabar kematian itu menyakiti setiap telinga kami, yang mendengarnya. Terlebih ketika jenazah Bulan tak kunjung bisa dipulangkan. Bulan tak pernah pulang. Bahkan setelah genap dua minggu pasca kematiannya, tak ada kabar baik apa pun.


Tambah murung, sebab bocah dua tahun di gendongan neneknya tak akan pernah lagi tahu bagaimana rupa ibu kandungnya. Kesembuhan itu nisbi. Kepulangan itu tinggal kebohongan belaka. 


Semalam, ibu Bulan sesenggukan di teras depan rumahku, di tengah perayaan Maulid Nabi Muhammad Saw. Baru beberapa langkah setelah sampai di teras mushala, ibu sepuh itu berbalik badan dan pulang. Tak sanggup menanggung duka yang begitu rupa.


Bagaimana pun, Bulan adalah buah hati yang akan tetap menjadi kekanak bagi orang tuanya. Bagaimana pun keadaan yang membelenggunya semasa hidup, Bulan tetaplah manusia yang dengannya aku pernah bermain dan bertukar cerita. Bulan tetaplah Bulan, sampai kabar kepergiannya membuyarkan segala harap.


Mungkin, semalam Gusti mendengar duka dan kesakitan batin yang dirasai ibu Bulan, sampai menurunkan hujan yang teramat deras untuk menyamarkan pekik tangisnya. Gusti memahami kalut seorang ibu dan hanya Dia yang tahu bagaimana memeluknya. 


Kematian itu memberiku kekuatan lagi, bahwa aku harus tinggal. Menanggalkan beberapa keakuan dan ego yang terus memeras dan memaksa pergi. Agar aku bisa sedekat itu mengenangmu. Sebab kau tidak benar-benar pergi, kau hanya pulang dan aku serta yang lain akan menyusul kepulanganmu. []


Oktober 2021.


Post a Comment

0 Comments