Kuasa Pengetahuan Michel Foucault

 

Satu dari sekian banyak kontribusi Michel Foucault adalah hadirnya teori mengenai relasi kuasa-pengetahuan. Di sini Foucault menolak anggapan bahwa keberadaan ilmu pengetahuan bersifat netral, hanya semata-semata untuk ilmu pengetahuan tanpa embel-embel kekuasaan (Syafiuddin, t.t.). Foucault mengidentifikasi dalam setiap praktik membentuk bangunan pengetahuan, wacana pengetahuan tersebut selalu dijadikan pijakan untuk melanggengkan kekuasaan (Priyanto, 2017).

 

Adapun kekuasaan yang diungkap Michel Foucault tidak sekadar bertumpu pada pengertian kekuasaan Negara. Bagi Foucault, kekuasaan di sini memiliki pemahaman yang luas dan kompleks. Ia tidak datang dari luar, tapi buah dari strategi yang bisa ditemukan dalam berbagai jenis aturan, regulasi maupun relasi. Kekuasaan bisa datang dari mana saja dan tidak selalu bergantung pada kesadaran manusia, ia bisa datang dari berbagai macam dimensi (Foucault, 2000).

 

Dalam relasi antara kekuasaan dan pengetahuan, keduanya tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Sebagaimana Nietzsche, Foucault juga menganggap bahwa dalam setiap bidang pengetahuan, kekuasaan selalu hadir di dalamnya. Bahkan kekuasaan bisa jadi merupakan asal usul dibentuknya sebuah diskursus ilmu pengetahuan. Kita juga bisa memahami relasi keduanya seperti dua mata koin, di mana kuasa adalah yang membentuk pengetahuan, sementara pengetahuan adalah aspek yang memproduksi kuasa (Adlin, t.t.).

 

Mengeja ID

Gagasan Foucault mengenai relasi kuasa sendiri lebih fokus menyoroti pembentukan tubuh. Dari proses tersebut, kita diperlihatkan bagaimana relasi kuasa dan pengetahuan bekerja mulai dari membentuk, mengontrol, menguasai atau menundukkan tubuh manusia modern. Namun kontrol atau penundukan di sini tidak begitu saja dipahami dalam makna fisik, akan tetapi bagaimana kemudian manusia merepresentasikan kebenaran pengetahuan, mengamini bentuk-bentuk kebenaran dan nilai-nilai yang hadir di dalam wacana pengetahuan, bahkan di ruang bawah sadar seseorang. Relasi kuasa-pengetahuan tersebut beroperasi dengan cara menormalisasi apa-apa yang ada dalam susunan masyarakat (Eriyanto, t.t.).

 

Misalkan saja dalam praktik pengkaplingan antara orang yang dianggap sakit dengan orang yang sehat, atau antara orang yang menderita kegilaan dengan orang yang dianggap normal, dan lain sebagainya. Diskursus mengenai kegilaan tentu kita pelajari melalui ilmu pengetahuan berupa psikologi. Dalam menganalisis orang dengan gangguan mental, kita diberikan beragam definisi dan asumsi.

 

Menurut Foucault, kekuasaan terlibat dalam pendefinisian tersebut, termasuk melanggengkan asumsi-asumsi tentang kegilaan, sehingga penanganannya pun tidak lain merupakan aplikasi dari kerja kekuasaan, baik individu maupun kelompok. Jadi diskursus mengenai kegilaan tidak semata-mata persoalan pengetahuan psikologis, tapi juga buntut panjang kuasa atas pengetahuan. Begitu. []

Post a Comment

0 Comments