Mengenal Judith Butler - Bagian 2

 Queer dan SOGIESC

Queer merupakan satu teori yang dibawa oleh Butler. Dasarnya tidak lain pada pemahaman bahwa identitas seseorang tidak bersifat tetap dan stabil. Ia bersifat historis dan dikonstruksi secara sosial.

 

Secara teori, Queer bisa digolongkan sebagai sesuatu yang anti-identitas. Ia bisa dimaknai sebagai sesuatu non-normatif atau non-esensial. Dalam teori Queer kita kemudian mengenal adanya istilah anti-normatif, anti-kategori dan anti-dominasi.

 

Bagi Butler, konstruksi gender dan seksualitas selalu mengalami fluktuasi. Jadi hadirnya teori Queer ini bisa dibilang mencoba mendobrak kategorisasi identitas dan seksualitas. Termasuk juga upaya untuk melakukan resistensi, sebagaimana yang dilakukan oleh para penganutnya.

 

“The aim here is transgression and opening up the boundaries of sex/gender. In contrast to this, the aims of a liberal transsexual politics are to make living as the ‘the other sex’, that is the sex that the trans person feels him or herself to be, more acceptable.

This may involve the view that sex reassignment surgery results not in transsexuality, but in passing as a woman or man, and the political goal is equal rights for transsexuals so that they have the possibility to do so.”

 

Butler berpendapat bahwa upaya yang diambil oleh Kristeva dan Irigaray sebelumnya dalam menetapkan posisi subjek alternatif bagi perempuan, pada akhirnya tetap sesuai dengan imperatif heteroseksual, dengan menjaga adanya dualitas seksual. Jadi dengan demikian, perbedaan dan posisi biner antara pria dan wanita, dibiarkan utuh. Seakan menyerah pada heteroseksualitas normatif.

 

Dalam hal ini menurut Prosser, Butler sedikit abai dan tidak memperhitungkan adanya peran tubuh dalam korporealitas dan literalitas. Ia mengabaikan materialitas tubuh yang dibingkai dan dibentuk, melalui kategori-kategori diferensial seks.

 

Bagi Prosser, Judith Butler terlalu fokus pada literalitas yang merupakan efek performatif dari naturalisasi dari jenis kelamin dan gender. Selain itu, adanya keinginan individu untuk berasimilasi sebagai perempuan atau laki-laki, dan narasi otoritas tubuh pada waria, ditambah adanya fakta bahwa tidak semua waria adalah queer, baik dalam arti homoseksual maupun yang lain, juga harus diperhatikan.

 

Namun demikian, terlepas dari kritik yang disampaikan Prosser kepada Butler, apa yang menjadi pandangan Butler tidak bisa dilepaskan dari adanya SOGIESC. Di mana konsep ini lahir dari ketiadaan ruang dalam masyarakat untuk bisa menerima keberagaman.

 

LBH APIK Semarang

Latar belakang massifnya konsep ini juga karena banyaknya pelanggaran HAM yang terjadi pada individu yang dianggap berbeda. SOGIESC merupakan sebuah konsep mengenai ketubuhan, orientasi seksual dan ekspresi gender, yang dipakai untuk memahamkan masyarakat.

 

Sexual Orientation

Ketertarikan seseorang secara seksual dan emosi pada jenis kelamin tertentu. Di sini kita mengenal ada heteroseksual, biseksual, homoseksual aseksual, dan sebagainya.

 

Gender Identity

Konstruk sosial atas peran-peran yang dilekatkan pada jenis kelamin tertentu. Di sini individu mutlak memiliki otoritas atas identifikasi dirinya sendiri.

 

Expression

Terkait bagaimana individu mengekspresikan sisi maskulin, feminin atau androgini dalam kesehariannya.

 

Sex Characteristic

Berkaitan dengan karakteristik biologis pada diri individu manusia (jumlah kromosom, gonad, dsb)


 Baca Selengkapnya: SOGIESC 


Apabila kita sudah bisa memahami apa itu seks, gender, seksualitas, identitas gender, ekspresi gender, orientasi seksual, maupun identitas seksual, maka kemudian kita akan bisa mengenal apa itu LGBTIQ dan istilah lain yang melingkupinya.

 

LGBTIQ merupakan singkatan dari Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender-Transeksual, Intersex, Queer, dan Questioning. Di sini sangat penting untuk menekankan bahwa keragaman identitas seksual dan gender bukanlah sesuatu yang salah dari segi kesehatan. Hal ini karena sejak 1990-an, World Health Organization (WHO) telah mencabut homoseksualitas dari daftar gangguan jiwa.

 

Kementrian Kesehatan RI pun juga telah mengikuti hal tersebut dengan mencabut homoseksualitas dari Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ). Dengan demikian, homoseksualitas merupakan varian yang wajar (biasa) dari seksualitas manusia (yifosindonesia.org).

 

Latar belakang hadirnya konsep ini, sebagaimana kita utarakan di awal, tidak lain karena maraknya pelanggaran HAM. Banyaknya kasus diskriminasi, persekusi dan kekerasan terhadap mereka yang punya orientasi seksual berbeda, harus disadari adalah buah dari konstruksi budaya yang memengaruhi pemahaman masyarakat.

 

Masyarakat menganggap acuan ‘Normal’ adalah pada ‘Hetero-normatif’, jadi seseorang hanya akan dianggap normal, ketika ia heteroseksual. Selain dari itu akan dianggap tidak normal, membawa penyakit, mengandung dosa, dan lain sebagainya.

 

Inilah yang kemudian juga membuat prinsip-prinsip HAM (to respect, to protect, to promote, to fulfill) juga tidak mudah diterapkan pada kelompok LGBTIQ. Selain karena persepsi masyarakat tentang LGBTIQ yang masih bias, beberapa pandangan agama juga berkontribusi mendiskriminasi hak-hak LGBTIQ.

 

Intervensi pemahaman agama yang dogmatis, ditambah reproduksi pengetahuan yang dilakukan oleh masyarakat mengenai keberagaman seksual dan gender, membuat posisi kelompok ini makin tersudut. Nah, dari sinilah lahir Yogyakarta Principle.

 

Yogyakarta Principle merupakan catatan prinsip-prinsip dalam penerapan UU HAM yang berkaitan dengan orientasi seksual dan identitas gender. Prinsip-prinsip ini disusun oleh sekelompok ahli hukum dan HAM dari berbagai negara pada 6-9 November 2016, di Universitas Gajah Mada. Prinsip-prinsip Yogyakarta mencakup standar HAM dan aplikasinya dalam isu orientasi seksual dan identitas gender.

 

Meskipun belum punya kekuatan hukum, prinsip-prinsip Yogyakarta ini bersifat universal dan bisa dipakai sebagai referensi sekaligus rekomendasi untuk kegiatan advokasi HAM, yang terkait dengan isu orientasi seksual dan identitas gender.

 

Terdapat 29 Point yang dirumuskan dalam Yogyakarta Principle, antara lain: hak atas penikmatan HAM secara universal, hak atas kesetaraan dan Non-Diskriminasi, hak untuk diakui di depan hukum, hak hidup, hak atas rasa aman, hak atas privasi, hak untuk bebas dari pencabutan secara sewenang-wenang, hak atas peradilan yang adil, hak untuk mendapat perlakukan manusiawi dalam tahanan, dan sebagainya (yifosindonesia.org) []


Catatan: Bukan Tulisan Pribadi.

Post a Comment

0 Comments