Pemimpin Perempuan dan Bahayanya Male Sentrism

 

Sampai detik ini saya masih melongo, menyadari bahwa suara rakyat ternyata tidak digubris sama sekali oleh wakil rakyat di Senayan. Lebih-lebih ketika membaca berita soal Ketua DPR RI, Puan Maharani yang diduga mematikan mikrofon salah satu anggota sidang, padahal anggota tersebut belum selesai mengutarakan pendapatnya.

 

Tapi terlepas dari adegan mematikan mikrofon di saat sidang paripurna, sebagai perempuan pertama yang menjadi pucuk pimpinan di DPR RI, tindak laku Puan Maharani sudah lama menjadi sorotan publik. Pertanyaan pertama yang saya lontarkan waktu itu, apa nantinya bu Puan bisa mewakili suara perempuan dan menyejahterakan hajat hidup perempuan?

 

Perlahan pertanyaan itu terjawab, dengan berbagai macam keputusan yang kemudian diambil oleh Puan. Pun selama pandemi berlangsung di Indonesia. Alih-alih memberikan respon dan perlindungan kepada perempuan yang berjuang di tengah pandemi, Puan justru menggunakan previlege-nya untuk kepentingan lain. Apa itu?

 

Pertama, menyetujui pengesahkan UU Minerba pada 13 Mei 2020 yang telah dikritik oleh banyak pihak karena dianggap cacat hukum dan hanya berpihak pada kepentingan elite. Kedua, DPR juga melakukan pembahasan dan pengesahan UU Mahkamah Konstitusi (MK) pada 1 September 2020. Ketiga, yang mengundang protes lebih besar dari banyak kalangan adalah disahkannya Omnibus Law atau Undang-undang Cipta Kerja pada 5 Oktober 2020 lalu.

 

Selain itu, Puan juga menyetujui dikeluarkannya Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) dari Prolegnas 2020, justru di tengah tingginya angka kekerasan terhadap perempuan di Indonesia. Alasan yang dikeluarkan juga mengacu pada anggapan anggota DPR–notabene adalah laki-laki–yang menganggap pembahasan RUU tersebut terlalu rumit. 

Mataairradio.com

Ini menjadi salah satu bukti bahwa cara pandang yang digunakan oleh Puan masih male sentris. Ada pola-pola maskulinitas dan patriarkal yang ternyata tidak bisa serta merta dihapuskan, bahkan langgeng dan bercokol di kepala perempuan dan sangat berpengaruh pada proses pengambilan keputusan.

 

Misalnya dalam RUU Cipta Kerja, ada beberapa pasal yang diketahui tidak responsif terhadap isu gender, baik terkait cuti haid dan melahirkan, dan yang berkaitan dengan pengalaman kemanusiaan perempuan lainnya.

 

Meskipun Puan adalah perempuan, namun sikap yang ditampilkan Puan semacam masih menginternalisasi apa-apa yang khas dalam cara pandang laki-laki, bukan atas dasar pengalaman sebagai perempuan atau pengalaman yang khas dimiliki oleh perempuan.

 

Puan Maharani mereproduksi tatanan yang selama ini sudah mapan di kursi pemerintahan. Kuasanya digunakan untuk mendukung pengesahan undang-undang Cipta Kerja, UU Minerba, mengeluarkan dan menunda pembahasan RUU P-KS, yang sudah lama didorong oleh berbagai elemen untuk bisa masuk ke dalam prolegnas 2021.

 

Nah, menurut saya kebijakan-kebijakan yang diambil oleh Puan selaku pucuk pimpinan DPR RI ini sangat melukai perempuan dan perjuangan perempuan dalam mendapatkan hak-haknya di ruang publik.

 

Ditambah setelah itu, baik Puan dan dedengkotnya semacam menutup mata pada aksi-aksi dan penolakan yang dilakukan oleh berbagai kelompok masyarakat. Tidak ada dari pihak DPR RI, yang kemarin hadir dalam siding paripurna, yang sedia menemui massa dan memberikan penjelasan atas apa yang disampaikannya, meski aksi demonstrasi telah digelar sejak 5 Oktober 2020.

 

Kok jadi serba salah ya? Keberadaan perempuan di posisi strategis, diharapkan oleh banyak pihak bisa menjadi ruang untuk menampung aspirasi perempuan, bekerja dengan cara pandang perempuan dan pengalaman khas perempuan, sehingga bisa menciptakan keadilan yang hakiki pada perempuan.

 

Tapi untuk satu ini, nyatanya tidak ada yang bisa diharapkan. Padahal ketika dihadapkan pada persoalan kebijakan, subjek yang paling terdampak lagi-lagi adalah perempuan. Terlebih saat ini pandemi Covid-19 masih menjadi momok yang mengancam hajat hidup banyak orang.

 

Nah, itulah kenapa aspek kapasitas dan kapabilitas perempuan tetap harus dipertimbangkan. Tidak semua perempuan memiliki kapasitas menjadi pemimpin, dan tidak semua perempuan bisa merepresentasikan pengalaman perempuan dan memiliki etika kepedulian untuk sedia memperjuangkan hak perempuan.

 

Begitu juga ketika berbicara soal kapabilitas perempuan, pun tidak bisa diukur hanya dengan mempertimbangkan previlege-nya, meski itu sangat berpengaruh untuk mendompleng suara. Previlege saja tidak cukup dipakai untuk mengurai ketimpangan yang dialami oleh perempuan, kecuali dengan menggeser paradigma atau cara pandang yang berkeadilan gender, bukankah selama ini kita didorong untuk mengarusutamakan gender dalam segala bidang?

 

Bukan berarti saya tidak percaya pada kepemimpinan perempuan dan tidak mendorong perempuan untuk tampil sebagai pemimpin. Tapi saya ingat bahwa meskipun perempuan sudah ada di kursi tertinggi sekali pun, jika yang bercokol di kepalanya adalah cara pandang yang maskulin, maka akan sama saja, berbahaya.

 

Jadi penting untuk menggeser paradigma dari male-sentris yang patriarkis, dan menanamkan etika kepedulian pada persoalan perempuan. Mengubah paradigma memang bukan perkara gampang, tapi bukan berarti tidak bisa mengupayakannya, kan?  Saya ingat pernyataan Gus Dur dalam salah satu esai-nya, “Jelaslah, memperjuangkan hak-hak wanita adalah pekerjaan yang masih berat di masa kini, hingga wajiblah kita bersikap sabar dan bertindak hati-hati dalam hal ini.” []

 

Pertama kali dimuat Geotimes pada 17 Oktober 2020: Pemimpin Perempuan dan Bahayanya Male Sentrism

 

Post a Comment

0 Comments