Ningrum

 

Pintu sudah dikunci, tapi baju-baju sekolah Ningrum belum diangkat dari jemuran. Tidak ada yang peduli. Sementara mendung pekat tinggal menunggu satu helaan napas untuk mengalirkan berkubik-kubik air hujan.

 

Jam dinding belum juga sampai di angka tujuh saat Sunar dan istrinya, Suratun sudah tidak bersuara. Memilih lelap setelah seharian mburuh tandur di sawah milik Kiai Sukardi. Sementara kamar Ningrum yang hampir kedap suara, membuatnya tak menyadari kedatangan angin ribut yang mulai meggerayangi kampung.

 

Akhirnya seragam itu dibiarkan basah juga. Ketika sadar, Ningrum tidak beranjak. Hujan yang datang bersama dengan angin kencang itu membuatnya tidak berani keluar rumah untuk sekadar mengambil baju-bajunya dari pekarangan belakang. Celana dalam Suratun dan dua sarung milik Sunar ikut lusuh dan basah lagi.

 

Musim hujan makin sulit diprediksi kapan akan berakhir. Curah hujan juga tidak berkurang, selalu tinggi. Untungnya rumah panggung yang dibangun Sunar lima tahun lalu berhasil menghindarkan keluarganya dari banjir yang kerap mampir mlipir. Meskipun di dalam rumah setidaknya harus ada tiga sampai lima baskom, untuk menampung air yang terjun bebas dari sela atap yang bocor.

 

Esok paginya Ningrum gagal berangkat ke sekolah, karena ruang kelas lagi-lagi kebanjiran. Tidak ada alternatif yang bisa dijangkau selain meliburkan sementara seluruh kelas, sampai air setinggi setengah meter itu surut. Alhasil Ningrum hanya bermain-main bersama Yanto, adiknya di dalam rumah.

 

Tahu anaknya tidak jadi berangkat, Sunar buru-buru menyerahkan selembar kertas ke Ningrum. Menyuruh anak itu segera tanda tangan, tanpa memberi kesempatan untuk membaca, meski sekilas, isi dari lembar tersebut. Satu baris paling jelas hanya pada bagian paling atas kertas putih, bertuliskan ‘Surat Perjanjian’.

 

“Buat apa, Pak?”

 

“Disetor ke kelurahan.”

 

Ningrum yang masih bingung dan belum puas dengan jawaban Sunar kembali bertanya, untuk apa ia harus mengisi bagian yang kosong dalam surat itu dengan identitas bapaknya, identitas pribadi dan tanda tangan dari Sunar dan dirinya.

 

Ia baru paham apa guna selebaran itu setelah membaca bagian paling bawah. Surat yang ternyata memang bukan pemberitahuan atau undangan atau pendataan dari desa, tapi surat yang ditujukan ke desa untuk pengajuan pinjaman.

 

“Bahwa yang bertanda tangan di bawah ini…”

 

“Cepat, harus disetor sekarang, mumpung ndak lagi hujan.”

 

“Iya, Pak.”

 

Sambil menulis nama dan alamat lengkap bapaknya, Ningrum masih membatin untuk apa orang tua itu nekat mengajukan pinjaman. Dan kenapa tidak ada informasi soal pinjaman seperti apa yang diajukan? Ningrum jadi ingat sesuatu, kalau ingin mengajukan pinjaman untuk modal usaha, berarti pemohon mestinya punya usaha yang sedang dirintis atau dikembangkan. Sementara bapaknya tidak punya usaha selain menjadi buruh tani yang penghasilan pastinya, tidak pernah pasti.

 

Belum sempat pertanyaan-pertanyaan yang mengganggunya itu bisa ia jawab sendiri, lembar surat perjanjian yang sedang ia baca ulang, lebih dulu direbut Sunar tanpa menjelaskan apapun. Suratun yang sedari tadi duduk di sampingnya sambil menganyam reyeng, juga diam. Sepersekian menit kemudian Sunar sudah bersiap-siap mengayuh jengkinya, melaju entah kemana.

 

“Bapak mau ke mana?”

 

“Ndak tau.”

 

“Bapak mau pinjam uang, Buk?”

 

“Ndak tau.”

 

“Lha surat tadi? yang mau diantar itu tadi? Data peminjaman, toh?”

 

“Surat apa?”

Media Indonesia

Ningrum tidak melanjutkan omongan dan makin bingung dengan sikap ibunya yang acuh tak acuh. Tak lama setelah Sunar berangkat, Kiai Sukardi datang menenteng setumpuk kertas yang kemudian diketahuinya adalah fotokopi kartu keluarga dari beberapa tetangga di RT-nya. Kedatangan Kiai itu ke rumah, tidak lain ingin menemui bapak dan ibu, menanyakan perihal jadi tidaknya mengambil pinjaman.

 

“Sunar ada, Tun?”

 

“Eh, Pak Kiai. Baru saja keluar. Pripun, pak?”

 

“Sunar kemarin bilang kalian mau ikut pinjem uang. Jadi to? Ini orang-orang wis pada ngumpulin KK.”

 

“Oh ya jadi to, Pak Kiai. Tadi bapak sudah bawa surat perjanjian sama potokopi KK-nya lo.”

 

Ningrum yang mendengar percakapan itu, hanya berdiri tercenung. Ia masih tidak mengerti dengan apa-apa yang dilakukan ibu dan bapaknya. Terlebih setelah Kiai Sukardi datang dan Suratun menghendaki pinjaman yang ditawarkan Kiai itu.

 

“Rum, lihat! Bapak ibukmu harus ngutang buat bayarin SPP-mu.”

 

“Oh, hehe. Enjeh, Pak Kiai.”

 

Ningrum tersenyum kecut menanggapi informasi yang bernada sinis dari Kiai kampung itu. Ia jadi memikirkan kata-kata itu sembari mulai merasa bersalah. Makin bersalah karena gagal mendapatkan beasiswa untuk sekolahnya dan tambah bersalah karena orangtuanya harus meminjam uang, untuk membayar SPP-nya.

 

Tapi Ningrum masih tidak paham, kenapa Sunar dan Suratun harus meminjam uang kepada kiai itu, padahal seminggu sebelumnya, Ningrum sudah katakan pada ibuk bapaknya, kalau ia tinggal mengumpulkan setengah lagi dari total SPP yang mesti dibayarkan.

 

Kulo sampun kerjo damel nglunasi bayar SPP lo.” Sementara  kedua orang tuanya bilang ke para tetangga, kalau mereka yang membayar semuanya, sampai mengajukan pinjaman ke desa lewat perantara Kiai Kardi.

 

“Kamu itu wis, diem aja. Jangan nambah-nambahi beban. Kalau ndak bisa cari duit buat aku sama bapakmu, diem.”

 

“Tapi kenapa harus pinjam?”

 

“Ya, kamu sama adikmu itu wis habis banyak. Masih ngrepotin. Harusnya wis nikah aja. Lihat ke temen-temenmu itu semuanya wis ikut suami. Ndak jadi bebanku sama bapakmu.”

 

“Kalo ibuk sama bapak ndak bisa bayar bulannannya, gimana?”

 

“Yo kamu yang bayar, lawong hutangnya buat SPP-mu.”

 

Ningrum sudah muntab mendengar nada sinis yang dikeluarkan Suratun. Gadis 16 tahun itu pilih mengakhiri percakapan, dan pergi ke kamarnya. Meski dalam benaknya masih ingin menyudutkan Suratun dan mendapat jawaban dari pertanyaan-pertanyaannya sampai puas.

 

Selang lima hari kemudian, pinjaman uang dari Kiai Sukardi cair. Sunar dan Suratun menimang-nimang uang pinjaman senilai lima juta itu, tanpa memberitahu Ningrum maupun Yanto. Tapi Ningrum tahu dari para tetangga tentang bapaknya yang sesumbar telah membayarkan semua SPP anaknya.

 

Padahal sehari sebelumnya, Ningrum sudah membayar SPP yang hampir nunggak itu, tanpa menunggu cairnya uang yang dipinjam bapak dan ibuknya. Ia pakai uang hasil kerjanya sebagai tukang cuci dan guru les untuk membiayai sekolahnya sendiri.

 

“Lihat, Rum. Berkat Sunar sama Suratun, kamu bisa bayar SPP tepat waktu.” Sindir Kiai Sukardi. []

Post a Comment

0 Comments