Hari Ini Aku Menelfonmu

 “Ada sesuatu yang ingin kamu bahas?”

 

“Tidak ada. Hanya ingin menelfon.”

 

“Untuk apa?”

 

“Tidak untuk apapun. Mungkin memenuhi hasratku yang sedang, entah.”

 

Ada beberapa project yang menunggu untuk kau selesaikan minggu ini. Beberapa aplikasi pesanan klien, beragam karakter. Satu klien membuat ubanmu bertambah banyak, satunya membuat batang lehermu kesemutan. Lalu orang-orang kantormu, akan meminta sekian jatah waktu yang kau pakai untuk kerja di tempat lain.

 

Sempat terlintas. Aku ingin bertanya, bagaimana caramu mengatur waktu untuk bisa menyelesaikan semua kerja teknis itu? Jika terlalu umum, bisakah kau jawab, berapa banyak aplikasi yang kau buat dengan sepenuh hati? Atau dari totalnya, apa kau melakoni seluruhnya sepenuh hati?

 

Tapi aku tidak yakin kau mau menjawab pertanyaan macam itu. Maka kuurungkan dan pilih diam lagi. Hari ini aku memang menelfonmu, dalam dering yang cukup lama sampai bisa mendengarmu mengucap satu kata, “hallo.”

 

Bagaimana kalau aku tanyakan hal lain? Misalkan, lagu-lagu apa yang sedang kau dengarkan? Aku yakin salah satunya masih dari band legendaris, Queen. Tapi aku juga tahu ada beberapa lagu Barat yang sering kau putar menemani masa-masa lembur itu. Dan kenapa aku harus menanyakan sesuatu yang sudah kuketahui jawabannya?

 

Oh, mungkin aku bisa bertanya hal-hal lain, sesuatu yang sederhana dan aku belum pernah dengar langsung darimu, kegemaranmu selain yang aku tahu, mungkin? Ruang-ruang gelap yang aku tidak punya ruang cukup untuk tahu.

 

pixabay.com

“Koes, aku benar-benar ingin menulis sesuatu buatmu.”

 

“Apa?”

 

“Satu hal yang bisa kau kenang.”

 

“Untuk apa?”

 

“Untuk kau kenang saja. Meski aku tidak akan jadi siapa dan apa.”

 

Kau katakan aku harus mencari orang yang bisa terus membuatku menulis. Membuatku merasakan ide-ide segar, yang tumpah ruah dan mengalir seperti air terjun yang gagal kita tengok tempo hari.

 

Kadang, aku ingin mencari yang demikian, Koes. Mencari orang yang bisa membuatku patah berkali-kali dan aku tetap menulis karenanya. Aku pernah berkelakar, “apa kau saja?”

 

“Kalau kau saja, bagaimana?”

 

Tapi lagi-lagi kau pilih tidak menjawab. Malah mengingatkanku untuk fokus pada apa yang tengah kujalani. Jelasnya, aku mesti mengesampingkan urusan-urusan cinta. Sebab ia adalah unsur paling personal yang harus kunomor-sekiankan. “Ingat! Tujuanmu masih panjang.” Katamu.

 

Dan suaramu kali ini memberi sedikit pengecualian pada apa-apa yang kuanggap sebagai gerak bebas. Kita tidak harus melulu ke tempat baru. Naik dan menanjak.

 

Kita hanya perlu, dengan sepenuh hati menjalani apa-apa yang sekarang di depan mata, segala yang menjadi tanggungjawab masing-masing. Kau sedang bekerja sepenuh entah apa, bersitegang dengan kode-kode dan istilah yang aku tidak mengerti.

 

Dan aku sendiri, akan tetap sebatas ini saja. Berupaya bertanggungjawab pada diriku sendiri, atas apa yang aku pilih, atas apa yang sekarang ada di depan mata, yang aku jalani.

 

Ah iya, soal lagu terakhir yang kau putar, aku yakin salah satu lagu LP. Tapi aku lupa judulnya. Terimakasih untuk 26.41 menit, bersambung selama 15.32 menit dan berakhir pukul satu dini hari. Kucatat, Koes. []

Post a Comment

0 Comments