Tanah Warisan


Mata sang raja memerah. Ia kalungkan celurit ke arah pinggulnya. Kemudian berjalan ke arah timur, menuju lahan gambut di pematang. Matanya masih sembab, kemudian selangkah kakinya menapak, air mata tak terkira jatuh membasahi kaos oblongnya yang penuh lumpur.
Raja yang dikata arif kini bergelut dengan hatinya. Saudara tertua ingin mengambil alih tanah kekuasaan yang telah dibagi rata. Tapi ketika ditanya oleh bungsu, raja yang merupakan anak ke-4 dari ratu penguasa tanah kidul itu mengelak. "Bukan, nak. Kakakku tidak ingin mengambil alih, hanya saja tanah gambut warisan itu harus kami jual. Bukan kerajaan ini sudah tak punya kendali, tapi ini demi..."
Sang anak tidak terpuaskan dengan jawaban raja sepuh itu. Ia berbalik dan mencari ibu, permaisuri, kemudian berbisik, bertanya, "Duhai ibu... Gejolak apakah yang tengah di hadapi keluarga ini? Akan diapakan pula tanah warisan nenek itu?"
Ibu kemudian menyuruh si bungsu untuk membuatkan secangkir kopi. Bagi ibu yang kini sudah memiliki 6 cucu dari ketiga anaknya ini, menyeruput kopi masih hal sakral untuk memulai suatu pembicaraan penting. 
"Duduklah nak...!" pinta lembut sang ibu pada bungsu.
"Hal apa yang ingin kau dengar dari mulut ibumu yang renta ini?"
Mereka berdua (ibu dan anak), berbincang serius dengan dua cangkir menemani isak bungsu. cangkir-cangkir itu gemetar, turut menyaksikan penggal demi penggal cerita yang disampaikan ibu.
Tanah peninggalan ratu. Tidak luas. Dibagi rata sesuai jumlah anggota keluarga, 6 bersaudara. Namun sulung tak pernah merasa puas, selalu merasa pembagian ratu tidaklah adil. Raja yang arif menjadi tertuduh mendapat bagian paling banyak.
Tapi raja, sebagaimana bijaknya. Bersama dengan saudaranya yang lain melakukan musyawarah. Mencari jalan tengah agar tidak terjadi pertikaian antar saudara. Ia akan lebih merasa sakit dan malu jika harus berdebat hanya karena tahta dan warisan. Akhirnya raja dan saudara-saudaranya bersedia untuk menjual keseluruhan tanah warisan peninggalan sang ratu.
Sang raja pulang dari pematang dengan wajah merah. Matanya tambah sembab. Lesu dan lusuh. Tidak ada yang bisa sang raja lakukan kecuali menuruti keinginan kakaknya. Keutuhan keluarga besar itu terlalu penting baginya raja yang arif.
Tanah ratu terjual. Logam-logam emas telah dipegang masing-masing anggota keluarga. Termasuk sang raja. Tapi tak kuasa ia memandang logam-logam itu. Logam emas yang telah menggantikan tanah gambut warisan ratu, terlalu kecil. Tak seluas tanah tempat sang raja kecil bermain berlarian bersama kakak dan adiknya.
Warisan itu telah memecah rasa cinta antar saudara. Mengambil kenangan sang raja bersama mendiang ibunda. Mengubah indahnya saling memberi menjadi iri dengki. Oh dewa.

Bandung Tulungagung, 20 Nov 2016, 1:18

Post a Comment

0 Comments